Sabtu, 14 September 2013

Menyoal Kefilsafatan Pancasila



Pancasila: Perjalanan Mencari
Status Kefilsafatan
Oleh: Benni E. Matindas
Artikel ini pernah terbit dlm KORAN TEMPO, 31 Mei 2013 (tesis yg sama sdh bbrp kali disajikan penulis dlm pelbagai tulisan sejak 1992)

K
eberhasilan mempertahankan kemerdekaan RI, yang berklimaks dengan pengakuan kedaulatan oleh lawan pada akhir 1949, segera diiring apresiasi yang luar biasa marak atas Pancasila. Konstitusi sudah silih berganti, terakhir UUDS 1950, Pancasila tetap dikukuhkan. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, yang telah diberi tajuk Lahirnja Pantjasila, dicetak ulang sampai berkali-kali. Terbit pula sejumlah buku khusus membahas Pancasila, salah satunya ditulis oleh tak kurang Ki Hadjar Dewantara. Dan Sukarno, sang penggali Pancasila, dianugerahi doktor honoris causa oleh sederet universitas di dalam maupun luar negeri. Tapi justru di tengah gelombang pasang itulah Sutan Takdir Alisjahbana menyentak. Bahkan terasa mementahkan semua.
Dalam forum ahli pendidikan di Bandung, Takdir bilang: Pancasila belum memenuhi syarat sebuah sistem filsafat, ide-ide di dalamnya saling bertentangan, tidak koherensif. Misalnya, Sila I yang mengamanatkan warga untuk bertuhan dan beragama, itu bertentangan dengan demokrasi dalam Sila IV yang menjamin hak asasi warga untuk bebas beragama maupun tidak. “Sila-sila itu laksana pasir yang tercerai-berai di pantai!” simpul sang pujangga yang memang dikenal menekuni filsafat itu.
Penyatuan ide-ide yang bertentangan memang tak selesai dengan merumuskannya dalam satu kata mejemuk. Misalnya penyatuan sosialisme dan demokrasi (Sila V dan IV Pancasila). Baik untuk menangkal ekses ketidakadilan sosial dalam demokrasi sebagaimana ditempuh Jean Jaures (yang dituruti Sukarno dengan rumusan “sosio-demokrasi”-nya) maupun buat sebaliknya menangkal ekses totaliteristik dalam sosialisme sebagaimana dianjurkan Bernstein dengan “sosialis-demokrat”-nya (yang dituruti Hatta dan terutama Sjahrir di Indonesia). Bahkan puluhan tahun sesudahnya, ketika 1990-an Prof. Anthony Giddens mengusahakan revitalisasi Sosialisme-Demokrasi dengan jalan yang kendati sudah ternilai sangat radikal, sosiolog asal Inggris tersebut masih dicibir sebagai orang yang kurang mengerti sejauh mana kuasa dan kejinya kapitalisme.
Sistem Kesatuan Antar-Sila
Sejak amaran Takdir itulah maka dimulai upaya serius mencari rumusan sistem filsafat buat Pancasila. Upaya epistemologis. Walau lebih sering dirancui upaya politis.
Tercatat yang pertama ialah Prof. Hamka dan Pdt. Rosin. Buya Hamka, sastrawan dan ulama, mengajukan teori “urat tunggal” atau “akar tunggang” Pancasila. Sila I, Ketuhanan, adalah akar dari semua sila lainnya. Para politisi pro-komunisme berang, merasa diusir dari legitimasi ideologi negara. Polarisasi politik mereka dengan umat Muslim inilah yang berkembang mengekstrem sampai dalam sidang-sidang Konstituante. Sementara teori akar tunggal itu sendiri ternilai kurang memadai, kurang rinci memedomani. Sejarah di banyak negara menyaksikan betapa politik berlatar keagamaan melahirkan sistem sosialisme maupun kapitalisme.   
Adapun Dr. H. Rosin, dosen Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, menyatukan 5 sila dalam bangunan pentagram, seperti 5 sudut bintang. Setiap sudut terhubung dengan sudut lainnya: setiap sila harus dimaknai berdasar semua sila lainnya. Logika formalnya sudah tepat sebagai tujuan. Tapi tanpa pedoman memadai untuk mencapai tujuan tersebut, hanya menghasilkan rumusan kata-kata tanpa makna yang dibutuhkan. Itulah yang dialami Prof. Notonagoro di kemudian hari. Misalnya ketika merumuskan “arti” sila-I: Ketuhanan YME yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan… dan seterusnya. Rumusan begini tentu saja harus tergulung dalam lingkaran tak berujung-pangkal, karena bila selanjutnya ditanya arti dari “berkemanusiaan” atau “berpersatuan” yang menyifati sila Ketuhanan itu, maka masing-masingnya pun harus dijelaskan sebagai: kemanusiaan yang berketuhanan, berpersatuan Indonesia, dan seterusnya…. Dan seterusnya tanpa bisa henti!
Hingga sekarang sudah tak terhitung literatur yang berpretensi sebagai “Filsafat Pancasila”, namun umumnya hanya silat kata-kata tanpa pengertian yang terkonstruksi logis. Apalagi yang koherensif.
Malah ada yang lucu-lucu. Misalnya Prof. Moh. Yamin dalam Seminar Pancasila 1959. Pancasila dinilainya sah sebagai filsafat karena sesuai dengan falsafah Hegel yang mengajarkan dialektika atau serba-pertentangan. Padahal sebuah falsafah justru memiliki paradigma serta sistem nilainya sendiri. Seorang filsuf Pancasilais justru harus dapat menilai kekurangan Hegelianisme.
Banyak rumusan yang terperangkap pada ambisi menemukan apa yang oleh ilmuwan sosial mutakhir dikritik sebagai monokausal. Meski dengan catatan aneh-aneh, seperti “mono-dualisme” ala P-4 atau “mono-pluralis” dari konseptor lainnya. Monokausal – seperti “Ekasila Gotong-Royong” dari Sukarno, “Eka Prasetya Pancakarsa” dari P-4, “Bersamaisme” dari Prof. Soediman Kartohadiprodjo, dan sebagainya – cenderung mengalami kesulitan seperti teori akar tunggal, yakni buah-buah implikasi serta implementasi yang bisa tak koherensif. Begitu pula bila diakarkan pada eksistensi manusia sebagaimana dianjurkan H. Sidhi Gazalba dan kemudian Dr. Drijarkara, jika tanpa penjelasan bahwa Pancasila adalah falsafah desisionik (bukan keniscayaan alamiah) dan tanpa pedoman cukup rinci.
Ironi 4-Pilar
Ketika tahun 1960-an Sukarno mengajukan Panca Azimat Revolusi Indonesia, dimana Pancasila cuma sebagai salahsatu elemennya, itu adalah penegasan bahwa Pancasila, oleh “sang penggali”-nya sendiri, masih diyakini sebagai bukan falsafah dasar. Tak beda dengan 4-Pilar Kebangsaan yang sekarang jadi mode; mengira sedang mengagungkan Pancasila padahal sudah menafikan kefilsafatan Pancasila. Ironis!  

  

50 Tahun MANIKEBU: Kisah Abadi Emansipasi



Kierkegaard Whitehead Plato Dewey Gadamer Sidharta Budha Rorty Alain Badiou Al-Ghazali Kant Spinoza Adorno Roland Barthes Marx Lacan Derrida Wittgenstein Sartre Lukacs Popper Habermas Lakatos Iqbal Nietzsche Althusser Descartes Ayn Rand   
-the philosophers in Benni Matindas’ File:
Thales (624-546 sM), Anaximander (610-546 sM), Epimenides (abad VI sM), Medhatithi Gautama (abad VI sM), Anaximenes (585-528 sM), Pythagoras (571-496 sM), Lao-tze (abad VI sM), Khong Fu-tze, Confucius (551-479 sM), Parmenides (540-470 sM), Heraclitus dari Efesus (c.535-c.475 sM), Anaxagoras (c.500-428 sM), Leucippus, asli: Leikippos (paro pertama abad V sM), Empedocles (c.490-430 sM), Zeno dari Elea (c.490-430 sM), Protagoras (c.490-420 sM), Mo Ti (c.472-391 sM), Socrates (469-399 sM), Democritus (460-371 sM), Plato, asli: Platon (427-347 sM), Aristoteles (384-322 sM), Mencius (Meng-tze), asli: Meng Koo (c.372-288 sM), Kautilya, Vishnu Gupta, asli: Chanakya (c.370-283 sM), Thrasymachus dari Korintus (abad IV sM), Pyrrho (c.360-c.260 sM), Epicurus (342-270 sM), Sjuun-tze, asli: Sjuun Kwang (c.300-235 sM), Chrysippus (c.279-c.206 sM), Zeno dari Citium, asli: Zenon ho Kitieus (c.334-262 sM), Arcesilaus (316/5-241/0 sM), Chrysippus (c.280-207 sM), Panaetius (c.185-110 sM), Marcus Tullius Cicero  (106-43 sM), Lucretius (98-55 sM), Philo dari Alexandria (25 sM-50), Lucius Annaeus Seneca (c.4 sM-65), Aenesidemus (abad I sM), Epictetus (50-138), Aksapada Gotama (abad II), Marcus Aurelius (121-180), Nagarjuna (c.150-250), Origenes (184-254), Plotinus (204-270), Augustinus (354-430), Hypatia dari Alexandria  (370-415), Proclus Diadochus (411-485), Boethius (480-524), Adi Shankara (788-820), Johanes Scotus Eriugena  (800-877), Yakub ibnu Ishaq al-Kindi (801-873), Abū Naṣr Muḥammad ibn Muḥammad Fārābī, Al-Farabi,  Alpharabius (c. 872-950), Abu Ali al-Husayn ibnu Abdullah ibnu Sina, Avicenna (980-1037), Anselmus (1093-1109), Petrus Abaelardus, Pierre Abelard (1079-1142), Abu Hāmed Mohammad ibn Mohammad al-Ghazzāli, Algazel (1058-1111), Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Rushd, Averroes (1126-1198), Musa Maimonides (1135-1204), Robertus Grosseteste (1168-1253), St. Albertus Magnus (c1200-1280), Roger Bacon (1214-1294), Thomas Aquinas (1225-1274), John Duns Scotus (c.1265/70-1308), William of Ockam (c.1285-1349), Francesco Petrarca, Petrarch (1304-1374), Marsilio Ficino (1433-1499), Desiderius Erasmus (1466-1536), Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas More (1478-1535), Francesco Patrizi (1529-1597), Michel Eyquem de Montaigne, Seigneur de Montagnus (1533-1592), Francis Bacon (1561-1626), Galileo Galilei (1564-1642), Hugo de Groot, Grotius, Hugo Grocio, asli: Huig de Groot (1583-1645), Thomas Hobbes (1588-1679), Rene Descartes (1591-1650), Blaise Pascal (1623-1662), Arnold Geulincx (1625-1699), Baruch Spinoza, Benedict de Spinoza (1632-1677), John Locke (1632-1704), Samuel Pufendorf (1632-1694), Nicola Malebranche (1638-1715), Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), Pierre Bayle (1647-1706), Christian Wolff (1659-1754), Lord Shaftesbury, asli: Anthony Ashley Cooper (1671-1713), George Berkeley (1685-1753), Giambattista Vico (1688-1744), Joseph Butler (1692-1752), Francis Hutcheson (1694-1746), Julien Offray de La Mettrie (1709-1751), David Hume (1711-1777), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), Denis Diderot (1713-1784), Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), Etienne Bonnot de Condillac (1715-1780), Baron von Holbach, asli: Paul-Henri Thiry (1723-1789), Immanuel Kant (1724-1804), Edmund Burke (1729-1797), Gotthold Lessing (1729-1781), Marie-Jean-Antoine-Nicholas de Caritat, Marquis de Cordorcet  (1743-1794), Jeremy Bentham (1748-1832), Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), Friedrich von Schiller (1759-1805), Johann Gottlieb Fichte (1762-1814), Madame de Staël, asli:Anne-Louise Germaine Necker, Baronne de Staël-Holstein (1766-1817), Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Herder (1774-1803), Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling (1775-1854), Arthur Schopenhauer (1788-1860), Auguste Comte (1798-1857), Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872), John Stuart Mill (1806-1873), Max Stirner, asli: Johann Kaspar Schmidt (1806-1856), Pierre Joseph Proudhon (1809-1865), Søren Aaby Kierkegaard (1813-1855), Henry David Thoreau (1817-1862), Karl Marx (1818-1883), Herbert Spencer (1820-1903), Hermann Ludwig Ferdinand von Helmholtz (1821-1894), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Franz Clemens Honoratus Hermann Brentano (1838-1917), Charles Sanders Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), Herman Cohen (1842-1918), Prince Peter Alexeyevich Kropotkin (1842-1921), Friedrich Nietzsche (1844-1900), Francis Herbert Bradley (1846-1924), Wilhelm Windelband (1848-1915), Bernard Bosanquet (1848-1923), Gottlob Frege (1848-1925), Hans Vaihinger (1852-1933), Paul Natorp (1854-1924), Josiah Royce (1855-1916), Sigmund Freud (1856-1939), Ferdinand de Saussure (1857-1913), Lucien Levy-Bruhl (1857-1939), Georg Simmel (1858-1918), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson (1859-1941), John Dewey (1859-1952), Alfred North Whitehead (1861-1947), Maurice Blondel (1861-1949), Swami Vivekananda, asli: Narendranatha Dutta (1863-(1863-01-12) 1902), Heinrich Rickert (1863-1936), John McTaggart Ellis (1866-1925), Gallus Manser (1866-1950), Benedetto Croce (1866-1952), Joseph Geyser (1869-1948), Bertrand Russell (1872-1970), Sri Aurobindo Ghosh (1872-1950), Marcel Mauss (1872-1950), George Edward Moore (1873-1958), Max Scheler (1874-1928), Ernst Cassirer (1874-1945), Emil Lask (1875-1915), Martin Grabmann (1875-1949), Sir Muhammad Iqbal (1877-1938), Joseph Marechal (1878-1944), Martin Buber (1878-1965), Ramana Maharshi, asli: Venkataranan Iyer (1879-1950), Hans Hahn (1879-1934), Victor Kraft  (1880-1975), Pierre Theilhard de Chardin (1881-1955), Moritz Schlick (1882-1936), James Joyce (1882-1941), Nicolai Hartmann (1882-1950), Karl Jaspers (1883-1969), Franz Kafka (1883-1924), Gaston Bachelard (1884-1962), Philip Frank (1884-1966), Josef Koch (1885-1967), György Lukacs (1885-1971), Ernst Bloch (1885-1977), Franz Rosenzweig (1886-1929), Pieter Nicolaas van Eijck (1887-1954), Charles Dunbar Broad (1887-1971), Sir Sarvepalli Radhakrishnan (1888-1975), Gabriel Marcel (1889-1973), Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Martin Heidegger (1889-1976), Gerardus van der Leeuw  (1890-1950), Antonio Gramsci (1891-1937), Rudolf Carnap (1891-1970), Michael Polanyi (1891-1976), Walter Benjamin (1892-1940), Alexandre Koyre (1892-1964), Herman Dooyeweerd (1894-1977), Max Horkheimer (1895-1973), Mikhail Bakhtin (1895-1975), Susanne K. Langer, asli: Sussane Katherina Knauth (1895-1985), Friedrich Waismann (1896-1959), Jean Piaget (1896-1980), Roman Jakobson (1896-1982), Georges Bataille (1897-1962), Herbert Marcuse  (1898-1979), Georges Dumēzil (1898-1986), Louis Hjelmslev (1899-1966), Friedrich August von Hayek  (1899-1992), Gilbert Ryle (1900-1976), Erich [Seligmann] Fromm (1900-1980), Hans-Georg Gadamer (1900-2002), Jacques [Marie-Émile] Lacan  (1901-1981), Henri Lefebvre (1901-1991), Emile Benveniste (1902-1976), Herbert Feigl (1902-1988), Karl Raymund Popper (1902-1994), Fernand Braudel (1902-1985), Mortimer Jerome Adler  (1902-2001), Jean Cavailles (1903-1944), Franky Ramsey (1903-1930), Gustav Siewerth (1903-1963), Theodor Wiesengrud Adorno (1903-1969), Eric Weil (1904-1977), Arthur John Terence Dibben Wisdom (1904-1993), Georges Canguilhem (1904-1995), Josef Pieper (1904-1997), Jean-Paul Sartre (1905-1980), Ayn Rand (1905-1982), Raymond-Claude-Ferdinand Aron (1905-1983), Hannah Arendt (1906-1975), Emmanuel Levinas (1906-1995), Kurt Goedel (1906-1978), Jean Hippolyte (1907-1968), Maurice Blanchot (1907-2003), Simone-Ernestine-Lucie-Marie Bertrand de Beauvoir  (1908-1986), Maurice Merleau-Ponty (1908-1961), Claude Lēvi-Strauss (1908-2009), Alfred Jules Ayer (1910-1989), John Langshaw Austin (1911-1960), Bernardus Maria Ignatius Delfgaauw (1912-1993), Francis August Schaeffer (1912-1984), Albert Camus (1913-1960), Paul Ricœur (1913-2005), Ragaa Garaudy, asli: Roger Garaudy (1913-), Marguerite Duras, asli: Marguerite Donnadieu (1914-1996), Roland Barthes (1915-1980), Monroe Beardsley (1915-1985), Algirdas Julien Greimas (1917-1992), Louis Pierre Althusser (1918-1990), Peter Frederick Strawson (1919-2006), Emerich Coreth (1919-2006), Cornelis Anthonie van Peursen (1920-1996), Imre Lakatos (1922-1974), Thomas Samuel Kuhn (1922-1996), Paul Karl Feyerabend (1924-1994), Jean-François Lyotard (1924-1998), Arthur Frank Holmes (1924-2011), Frantz Fanon (1925-1961), Gilles Deleuze (1925-1995), Alain Touraine (1925-), Michel Foucault (1926-1984), Leszek Kolakowski (1927-2009), Jean-Yves Calvez  (1927-2010), Avram Noam Chomsky (1928-), Jürgen Habermas (1929-), Jean Baudrillard (1929-2007), Pierre Bourdieu (1930-2002), Gerard Genette (1930-), Michel Serres (1930-), Jacques Derrida (1930-2006), Christian Metz (1931-1993), Richard Rorty (1931-2007), Umberto Eco (1932-), Luce Irigaray (1932-), Ernesto Laclau (1935-), Philippe Sollers, asli: Philippe Joyaux (1936-), Alain Badiou (1937-), Tzvetan Todorov (1939-), Carole Pateman (1940-), Julia Kristeva (1941-), Michēle Le Dœuff (1948-), Slavoj Žižek (1949-), Douglas R. Groothuis (1957-)

CULTURE: PITIRIM SOROKIN DENNIS KAVANAGH ARNOLD TOYNBEE FOUCAULT FRANCIS MULHERN H.G.QUARITCH-WALES JAN W.M.BAKKER CLIFFORD GEERTZ  C.A.VAN PEURSEN LYOTARD GEORG LUKACS RUTH BENEDICT  ALFRED LOUIS KROEBER  ST. TAKDIR ALISJAHBANA ABRAHAM KAPLAN DAVID KAPLAN KENNETH PIKE  

50 Tahun Manikebu:
Kisah Abadi Emansipasi


Oleh: Benni E. Matindas

Tepat 50 tahun silam, September 1963, jurnal bulanan Sastra terbit dengan dengan memuat pernyataan sikap sekelompok seniman, budayawan dan cendekiawan yang pada masa itu terhitung melawan arus. Pernyataan tersebut diberi tajuk Manifes Kebudayaan. Kemudian lebih terkenal dengan akronim “Manikebu”, yang justru diberikan oleh lawan mereka – tentu saja dengan muatan nada menista. Dan memang Manikebu langsung diserang habis-habisan bukan saja oleh para intelektual di kubu Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, ormas seniman dan budayawan di bawah Partai Komunis Indonesia/PKI), juga oleh sejumlah intelektual dari dunia akademik maupun birokrasi yang seperti biasanya memang mesti menjilat pada penguasa. Bahkan Manikebu diposisikan sedemikian rupa sampai bisa jadi santapan pengganyangan aksi-aksi massa yang kendati tak mengerti samasekali apa masalah kebudayaan yang mereka teriakkan dengan caci-maki dan kutuk itu. Puncaknya, Presiden Sukarno sendiri, yang juga mengutuk keras, mengumumkan larangan resmi atas Manikebu!
Itu memang pertarungan. Walau perhadapannya berupa, di satu pihak sekelompok kecil seniman dan cendekiawan yang hanya berusaha menyelamatkan diri, sehingga dalam segala hal berada dalam posisi serta sikap mempertahankan diri, berhadapan dengan kelompok seniman yang, dengan didukung kekuasaan politik besar, sangat bernafsu mengganyang serta mengenyahkan lawannya. Kelompok kecil Manikebu mulanya hanya berusaha mempertahankan pandangan diri mereka yang diyakininya sebagai masih mengandung kebenaran yang penting, tapi pandangan itupun diganyang, tak diberi hak hidup. Dan para pemilik pandangan itupun mesti diganyang habis.
Keharusan Mengabadikan Dialog
Kini, rentetan peristiwa yang sudah lebih bersifat politis itu terasa telah sangat jauh berlalu. Masih pada hari-hari itu saja beberapa penanda tangan Manikebu sudah menempuh usaha-usaha untuk menunjukkan – dengan pelbagai argument yang memang sah nan logis – bahwa pihaknya sebetulnya tidak sepenuhnya anti terhadap apa yang didukung atau diperjuangkan lawannya. Sehingga ketika tepat dua tahun berikutnya terjadi peristiwa G30S yang disusul pengganyangan luarbiasa keji telengas atas orang-orang PKI beserta Lekra, dan para Manikebuis yang memang cuma segelintir sangat kecil itu sudah merasa cukup ‘terbalaskan’, mereka pun tak lagi merasa perlu buat ‘memperpanjang masalah’.
Sesungguhnya peristiwa Manikebu, sebagai sebuah entitas sejarah, bagi kita kini maupun generasi-generasi nanti tentu butuh disimak. Terlebih lagi, bukan saja pembelajaran dari sejarah memang merupakan kebutuhan alamiah yang penting, melainkan pula karena ini mengenai [tidak kurang dari:] gagasan-gagasan filsafat. Mengenai dunia pemikiran, bukan semata soal kasak-kusuk politik. Mengenai kebenaran. Ya, mengenai fondasi-fondasi yang di atasnya peradaban bangsa kita dipertaruhkan tinggi-rendahnya, kerdil atau unggul berjaya.
Lagi pula pertarungan ide-ide di sekitar peristiwa tersebut memang belum pernah diselesaikan secara memadai.
Realisme-Sosialis vs Humanisme Universal
Terdapat sederet faktor yang menyebabkan Manikebu tak hendak dikenang sebagai sejarah perhadapan filsafat Realisme-Sosialis versus Humanisme Universal (pada masa itu masih menggunakan istilah dari kebiasaan warisan bahasa Belanda: Humanisme Universil). Kehendak negatif itu bersumber dari para Manifestan sendiri, dan itulah yang harus terwujud karena pihak seberangnya (Lekra) sudah tak ada, tak bisa bersuara, sudah diberangus dan bahkan dihabisi dalam arti harfiah seiring dan untuk berdirinya rezim militerisme Orde Baru.
Kelompok Manikebuis yang kemudian menjadi penulis-tunggal sejarah tersebut tak hendak mengenang Manikebu sebagai sejarah pertarungan filsafat Realisme Sosialis vs Humanisme Universal, itu disebabkan sederet faktor yang berjalin-berkelindan. Dapat disebut pertama ialah, kondisi ideologis dari para ideolog utama Manikebuis yang masih hidup cukup panjang setelah 1965, yakni HB Jassin, Wiratmo Soekito, Arief Budiman dan Goenawan Mohamad (Trisno Sumardjo telah wafat April 1969). Pasang-naik sangat tingginya apresiasi terhadap filsafat kiri, dan dengan sendirinya juga terhadap Realisme Sosialis, melanda dunia intelektual hingga beberapa dekade. Neo-Marxisme, New-Left, Mazhab Frankfurt, Falsafah Teori Kritis, Teologi-Teologi Pembebasan, dan seterusnya, bahkan sejumlah pemikir besar tegas memasang label Marxis Ortodoks, semuanya tampil begitu agung dan berpengaruh kuat. Merasuk ke semua bidang dan disiplin ilmu. Bahkan PBB sejak akhir 1960-an mencetuskan sederet resolusi berhaluan kiri; antaranya The New International Economic Order untuk melawan kapitalisme. Sebagai kaum intelektual papan atas, dan yang berkejujuran ilmiah, para Manifestan tentu mengapresiasi dan terbuka terhadap karya-karya pemikiran penting tersebut, dengan kadar yang berbeda-beda. Arief Budiman [saat menandatangani Manifes masih bernama Soe Hok Djin] kemudian sudah kokoh sebagai eksponen Sosialisme, dengan kadar yang bahkan boleh dipastikan melebihi Pramudya Ananta Toer dan mungkin Nyoto sekalipun. Wiratmo Soekito sejak awal pegandrung eksistensialisme Sartre, sementara Sartre untuk masa yang cukup lama itu selalu berbaris terdepan dalam aksi-aksi massa kaum Marxis Eropa. HB Jassin pun sejak jauh sebelumnya memang memiliki pandangan kritis terhadap Humanisme Universal, dengan atau tanpa memosisikan falsafah Humanisme Universal tersebut dalam genre Liberal yang berhadapan dengan Realisme Sosialis yang berada dalam genre Marxisme. Goenawan Mohamad pelahap bacaan penting dan secara kodrati cenderung berpihak pada kaum kalah serta terpinggirkan itu sudah pasti amat mengapresiasi pemikiran-pemikiran radikal pro-kaum tertindas, dengan kadar serta caranya sendiri. Ini terbaca jelas pada sangat banyak tulisannya. Ditambah sejumlah pernyataannya yang eksplisit tak lagi membela Humanisme Universal (– apalagi ditambah dengan: [1] Pandangan filosofisnya sendiri yang selalu condong menolak universalisme; [2] Pengaruh Post-Modernisme padanya telah harus membuatnya tak lagi memandang Humanisme yang mengandalkan pemikiran rasional itu sebagai ideologi suci nan herois sebagaimana awal kehadirannya beberapa abad silam).
Sejak awalnya, motif perlawanan mereka, sebagaimana jelas dari sangat banyak ungkapan HB Jassin dan Goenawan Mohamad di kemudian hari, hanya terutama terhadap rezimentasi proses kreatif – yang merupakan pengekangan kreativitas – yang mereka tuding “politik sebagai panglima”. Demikianlah motif utama perlawanan para seniman di seberang Lekra dan penguasa ini. Selebihnya, ya, sederhana saja yaitu memang pada dasarnya sudah ada apriori negatif yang amat tegas terhadap kelompok yang dipandang “anti-Tuhan”.
Manifestan lain tak disebut di sini karena “nyaris tak terdengar” dalam soal argumentasi ideologis Realisme-Sosialis vs Humanisme Universal. Dan mengingat kenyataan mereka adalah para intelektual berkaliber di atas rata-rata maka bolehlah disimpulkan bahwa sikap diam mereka bermakna: apresiasi terhadap ideologi yang dulu diperjuangkan lawan mereka. Bur Rasuanto, misalnya, sementara puisi-puisinya yang ditulis di era ’66 saja sudah jelas bernada pro-rakyat kecil [memang rakyat tak hanya ‘milik’ Lembaga Kebudayaan Rakyat], disertasi doktornya kemudian pun mengangkat tema pro-keadilan sosial. Penentangan radikal terhadap ekonomi liberal.
Dalam hal bentuk, sejumlah puisi Bur Rasuanto pun, sebagaimana Taufiq Ismail, tak ada bedanya dengan karya-karya paling umum dari para penulis Lekra dan simpatisannya. [Malah banyak telaah yang mengatakan puisi-puisi Sitor Situmorang – eksponen LKN (ormas seniman PNI yang Sukarnois, yang waktu itu jamak bergandengan tangan dengan Lekra) – di kala itu justru lebih liris]. Itulah mengapa di kemudian hari, terhadap HB Jassin yang menabalkan eksistensi angkatan baru dalam sejarah kesusastraan Indonesia, yakni Angkatan 66, dan menggolongkan karya-karya Taufiq Ismail dan Bur Rasuanto ke dalam situ, Putu Oka Sukanta yang pengarang ex-Lekra mengajukan kritik berganda-bertingkat: gaya Taufiq dalam puisi-puisi era ‘66 itu tak beda dengan karya-karya penulis Lekra yang dulu diejek “sloganistis”, itu artinya HB Jassin membuat penggolongan angkatan bukan berdasar gaya seni yang samasekali baru, melainkan hanya berdasar golongan politik si seniman, dan dengan demikian Jassin pun sudah melakukan apa yang dulu ditolaknya dari sikap Lekra yakni menjadikan politik sebagai panglima atau ukuran berkesenian.   
Itulah penjelasan tentang tak hendaknya lagi kelompok Manikebuis melanjutkan polemik ideologis terhadap Realisme-Sosialis. Juga bahkan untuk sekadar merenda kenangan indah tentang Humanisme Universal-nya mereka sendiri. Terutama karena memang sejak dulu di antara mereka sendiri sudah terdapat pandangan kritis bercampur kurang jelas mengenai paham tersebut. Jadi memang pihak Manifestan sungguh tak hendak membahasnya dalam dialog kritis yang berhadap-hadapan frontal. Malah sebaliknya, terlebih pasca-rezim Orde Baru, orang-orang Lekra-lah, bersama amat banyak simpatisan mudanya, yang gencar membuka lagi front tersebut.
Dialog kritis Realisme-Sosialis vs Humanisme Universal, juga dialog kritis setiap kita dari perspektif manapun terhadap masing-masing ideologi tersebut sebagai konsep estetika maupun falsafah umum, itu harus diteruskan. Sebab, sekali lagi, ini tidak sebatas soal sejarah yang sudah selesai bersama waktu dan kita tinggal bercermin ke belakang supaya lebih bijak melangkah ke depan. Ini pun bukan semata soal politik yang selesai dengan menang atau kalah (Pramudya Ananta Toer dibuang ke Pulau Buru, lainnya dipenjara, banyak aktivis Lekra di daerah terbunuh). Ini adalah soal ide-ide, hal yang abadi dan mengabadikan. Di Pulau Buru pun Pramudya tetap menelorkan karya-karya abadi yang sekaligus terbukti dibutuhkan zaman.
Butuh Humanisme Universal
Istilah “humanisme universal” tak tercantum secara eksplisit dalam teks kepala Manifes. Istilah itu dicantum [konon oleh Wiratmo Soekito] dalam penjelasan.
Tapi para Manifestan sendiri, sejak waktu itu, sebelum pasang naiknya apresiasi terhadap paham lawannya (Realisme-Sosialis dan Marxian pada umumnya), sudah punya paling sedikit dua pandangan tak positif terhadap apa yang disebut Humanisme Universal itu. (1) Ada kritik terhadap kekurangan paham itu (yakni: melemahkan nasionalisme yang padahal sedang dibutuhkan). Ini sudah ditegaskan antara lain oleh HB Jassin sejak lama sebelum Manikebu. (2) Masih ada keraguan. Pandangan yang belum matang, belum selesai secara asasi, mengenai paham ini. Sudah di tahun 1980-an Wiratmo Soekito menilai sikap diri mereka dulu: naïf dan amatiran. Mengenai nilai humanisme, belum jelas apakah mutlak berasumsi semua manusia baik sementara kenyataan menunjukkan sering justru sangat jahat.1
Sekarang kritik terhadap Humanisme Universal telah bertambah dengan yang lebih asasi: (1) Sejumlah falsafah yang menolak universalitas; [2] Telaah-telaah falsafah Post-Modernisme yang mendekonstruksi pengandalan selama ini pada rasionalitas; sementara Humanisme dianggap mengandalkan rasionalitas.
Apakah lantas sekarang kita sudah harus meletakkan Humanisme hanya sekadar sebagai barang rongsokan warisan masa lampau yang tak lagi dibutuhkan? Salah! Juga salah bila menganggap kondisi di Indonesia pada era 1960-an itu  tidak seperti Eropa di masa awal kehadiran Humanisme sehingga beberapa Manifestan menyatakan bahwa bahkan Manikebu sebetulnya tak butuh Humanisme.
Humanisme [Petrarca, Erasmus, hingga Pencerahan/Kant] harus dilihat pertama-tama dan terutama sebagai upaya pembebasan manusia dari kungkungan ideologis. Entah itu kungkungan ideologis dari kepercayaan agama, takhayul, tradisi adat yang dehumanistis, nilai budaya yang subhumanistis, tradisi tatanan kekuasaan yang memonopoli sistem kesadaran manusia, segala pola pikir yang hidup dalam masyarakat yang mengalienasi manusia, dan sebagainya. Manusia harus dibebaskan, dan dengan itulah manusia dapat mandiri dan menjadi dewasa dalam artian bisa mencapai taraf optimal daya-dayanya maupun kebahagiaan eksistensialnya.
Pembebasan manusia dengan tujuan demikian itu tak pernah tak dibutuhkan dalam zaman manapun. Di masa lampau di Eropa, Humanisme dibutuh untuk emansipasi manusia dari kungkungan tradisi kekuasaan gereja yang memonopoli alam pikiran, dari belenggu takhayul, dan dari budaya feodalisme. Di masa Manikebu, manusia Indonesia harus dibebaskan dari dominasi ideologi partai komunis dengan segala paham utopis melanturnya yang merekomendasikan totaliterisme hingga memenjara dan membonzai kreativitas seni. Dibebaskan dari dominasi ideologi Serba-Revolusionisme. Hanya dengan emansipasi itulah manusia Indonesia dapat mandiri dan menjadi dewasa. Dalam rumusan Manikebu: “perdjoangan untuk menjempurnakan kondisi hidup manusia”, sehingga sanggup “mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengah masjarakat bangsa-bangsa”. Di masa sekarang manusia harus diemansipasi dari budaya industrialisme yang me-reifikasi, budaya konsumerisme yang sangat merapuhkan kemanusiaan, budaya komoditisasi yang sampai memperdagangkan politik, hukum, cinta dan hati nurani. Di zaman sekarang manusia harus diemansipasi dari kepercayaan agama yang dehumanistis. Pendek kata, humanisme tetap dibutuh!               
Humanisme harus dihayati terutama sebagai jalan pembebasan manusia, bukan terutama soal rasionalitas. Rasio selamanya hanya alat bagi manusia dan kemanusiaan, rasionalitas hanya alat dalam Humanisme. Dengan pembebasan seturut Humanisme rasio manusia dapat dikembangkan seoptimalnya melalui apa yang disebut pendewasaan dan pemandirian manusia demi kesejahteraan dan kebahagiaan puncak umat manusia.
Bahkan bila memang betul ada masalah pada sistem rasio manusia – sebagaimana diungkap Heidegger dan terutama Derrida – itu harus dilihat sebagai: rasio kita yang sudah bermasalah, dan karenanya harus dibebaskan dari ideologisasi oleh [kata Derrida:] struktur bahasa, demi tujuan Humanisme: kebenaran, kemandirian, dan pencapaian kedewasaan puncak kemanusiaan. Itu harus dibebaskan, termasuk rasio Derrida sendiri yang kentara sudah terideologisasi ketika ia memperlakukan bahasa sebagai metafisika [yang padahal dikutuknya] yang dikira niscaya membelenggu semua manusia. Hanya manusia yang tak kreatif yang memang akan dibelenggu, disesatkan dan diperbudak bahasanya. Tapi bahasa tetap merupakan alat yang mengabdi pada kepentingan manusia kreatif.
Pembebasan dengan spirit Humanisme itu tetap dibutuh. Malah semakin di masa kini, untuk membebaskan manusia dari belenggu dominasi ideologi dan budaya yang semakin sukar dilawan. Di masa Manikebu, bahkan sesungguhnya lawan mereka (PKI) pada dasarnya sedang memperjuangkan proses pembebasan seturut Humanisme dengan menggunakan metode kritis Marxian yakni materialisme-historis-dialektis. Sedang di masa kita sekarang banyak intelektual setuju dengan pembebasan bermetode Neo-Marxis yang diusul Horkheimer dan Adorno sebagai jalan paling memadai: dialektika-negatif.     
S
udah benar beberapa Manikebuis seperti Wiratmo Soekito mengangkat – dengan nekat2 – Humanisme Universal. Dan tak perlu diberi klausul seperti diajukan HB Jassin (dan disetujui hingga kini oleh banyak orang) demi “kepentingan nasional” yang masih dalam masa perjuangan. Klausul seperti itu hanyalah dalih salah kaprah yang sama persis dengan dalih yang diajukan rezim totaliterisme Orde Baru untuk menunda penegakan ide-ide universal HAM dan Demokrasi demi “stabilitas nasional” agar bisa menjamin “pembangunan nasional bagi kesejahteraan rakyat”; yang pada akhirnya terbukti tak mencapai semuanya baik kesejahteraan rakyat maupun sistem politik yang matang dan stabil. Bahkan tata politik yang anti-demokrasi itulah yang menyeret perekonomian bangsa ini menjadi amat rentan krisis, lantaran tumbuhnya budaya tak unggul sehingga ekonomi masyarakat lemah daya saingnya, kerdil daya inovatif, dan perekonomian daerah kerdil inisiatif.  
Yang dilakukan Bung Karno lebih tepat. Bukan nasionalisme yang mengoreksi atau memberi klausul atau menjadi premis khusus terhadap Humanisme Universal sebagai premis umum, melainkan sebaliknya Humanisme Universal itulah yang bila Nasionalisme diletakkan di dalamnya maka nasionalisme itu akan terkoreksi dan terarahkan menjadi benar, hakiki, tak sempit. Sejak 1930-an Sukarno menjelaskan koreksi atas nasionalisme itu dengan istilah sosio-nasionalisme. Dalam Pancasila, Humanisme Universal dikukuhkan sebagai Sila-II setelah Ketuhanan.
Klausul untuk menunda Humanisme Universal demi perjuangan bangsa, itu bukan saja secara teoretis keliru tapi pula bukti sejarah sudah terlalu banyak menunjukkan fakta bahwa bebas dari bangsa asing ternyata masuk ke dalam penjajahan oleh bangsa sendiri yang sering lebih keji sekaligus lebih rakus tanpa kompensasi. Kalau tidak mendahulukan pembebasan masyarakat dari segala belenggu ideologi dan budaya yang membuat kita tetap tak berdaya. Dan sebetulnya, sebagaimana Lenin pun sangat tahu – bersama Rosa Luxemburgh, John Hobson – penjajahan oleh bangsa asing itu (imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme) tak lain adalah penjajah dalam bangsa mereka sendiri melalui kapitalisme (sampai kapitalisme-birokrat) yang berkembang sedemikian rupa sampai harus meluaskan wilayah jajahannya ke bangsa-bangsa lainnya.
Jadi, jelas, kapitalisme dan imperialisme serta neo-kolonialisme adalah kondisi historis yang selamanya cenderung menjadi kondisi obyektif manusia di bangsa manapun, jika pembebasan seturut Humanisme Universal tak berjalan atau gagal. Dan dalam konteks dikotomi Humanisme Universal vs Sosialisme, Marxisme/Realisme-Sosialis, ingin ditegaskan: Humanisme Universal adalah pula proyek Marxis, dengan metode Marxian ataupun lain. 
Cacat Fatal Humanisme
Tujuan Humanisme Universal adalah arah hakiki kemanusiaan. Tetapi, meski sedemikian mutlaknya ia dibutuh, ia masih buntu! Selama ini, menyerahkan pengoperasian Humanisme kepada jalan Kant, Marx, sampai Habermas, niscaya buntu belaka. Pembebasan yang utuh tak pernah mungkin dicapai dengan semua jalan mereka, bahkan sekadar membayangkan di atas paparan teorinya masing-masing.
Teori Kant maupun semua Kantian serta Neo-Kantian tidak untuk praktis dan dan kurang memadai sebagai praxis pembebasan. Jalan Hegel maupun semua Hegelian serta Neo-Hegelian cuma sejenis mistik fatalisme sejarah, yang karenanya harus membiarkan bahkan merestui sebagai kehendak Roh Absolut kehadiran segala tiran yang dengan cara-cara primitif sangat kasar melancarkan proyek-proyek yang mengalienasi manusia bahkan melenyapkan manusia dalam arti harfiah!  
Bagaimana dengan jalan Marx yang begitu memukau dan meyakinkan? Materialisme-historis-dialektis Marx, maupun semua barisan derivatnya sampai Althusser, sudah terbukti tak pernah tak buntu dan akan selamanya buntu. Dalam kehidupan sehari-hari dengan mata telanjang pun kita selalu menyaksikan bahwa orang-orang yang paling gampang hanyut tergulung dan teralienasi dalam mekanisme pasar kapitalisme yang sarwa-komoditisasi itu ialah para persona-massa (bukan elite kultural) dengan ciri khas kurang cukupnya kadar daya kreatif serta daya kritis – pokoknya ini adalah soal kuasanya budaya – tetapi jalan yang lantas dirancang Karl Marx bukannya metode kultural yang terarah (socio-cultural engineering) melainkan menyerahkannya pada proses alamiah para buruh yang lapar dan diharap makin beringas – proses materialisme-historis yang dibayangkannya berlangsung secara niscaya sebagaimana hukum fisika dan karenanya dibanggakannya sebagai “ilmiah”/scientific. Teori hukum alam-nya Marx tersebut gampang dipatahkan Schumpeter dengan yang lebih alamiah: buruh yang lapar itu bila dikasih makan dan dijamin biaya sekolah serta kesehatan anak-istrinya pasti akan lebih beringas menghalau tuntutan sesama buruh yang masih lapar…! Terhadap telah Schumpeter tersebut, pihak Marxian akan menangkis, dengan penjelasan Marxisme bahwa itu juga gara-gara budaya alienatif sudah mencekam si buruh. Betul! Tapi, sekali lagi, kemampuan Marx menjelaskan atau mengkonstatasi kondisi alienasi tersebut sudah sejak dulu terbukti tidak serta-merta merupakan kemampuan memberi jalan emansipasinya yang feasible dan tepat. Mengapa? Ya, itu tadi, tak konsisten melihat pada, dan lantas mengandalkan, faktor budaya.
Dengan menemukan teori bahwa kondisi ekonomi masyarakat melahirkan budayanya sendiri [infrastruktur membuahkan suprastruktur], Marx dalam proses kreatif penyusunan teorinya itu mengalami euforia sampai hanyut terjerumus pada kekeliruan hermeneutis: sedemikian kuasanya infrastruktur [sampai bisa mengarahkan suprastruktur: hukum, politik, negara, budaya, agama, cinta, dan segalanya] maka untuk selanjutnya andalkan saja infrastruktur yang berlangsung secara alamiah tanpa pengarahan selain dialektika. Kentara di sini betapa Marx, dalam euforianya tadi, jadi balik lebih percaya pada gurunya dalam falsafah sejarah beserta dialektika (Hegel), dibanding gurunya dalam materialisme (Feuerbach). Ia begitu percaya pada proses sejarah yang niscaya berlangsung alamiah dan niscaya berlangsung secara dialektis/reaktif-negatif (antitesis) yang diajar Hegel. Ia sudah kurang percaya pada teori Feuerbach tentang proses yang berarah proyektif. Buruh yang lapar dan melarat memproyeksikan angannya (suprastrukturnya) untuk memiliki kekayaan melimpah serta kenikmatan istimewa [bukan: sosialisme “sama rata sama rasa”]. Buruh yang disesak dalam kemelaratan sampai mengalami kesakitan fisik akan berangan untuk jangan ada lagi rudapaksa dan segala bentuk ketaknyamanan fisik di dunia ini, maka tak ada revolusi dan segala pemaksaan dalam angannya. Angannya bisa apa saja, pendeknya tidak niscaya mengarah pada jalan satu-satunya: revolusi sosialisme. Bisa juga yang memang bersifat “reaktif”, sehingga bolehlah dibilang sebagai “buah dialektika”, yaitu: angan dan bahkan tekad untuk “kelak jangan lagi ditindas melainkan menindas [sebagai salahsatu wujud kenikmatan istimewa yang diangankan]”. [Di kemudian hari Sartre mengkritik keniscayaan teori hitam-putihnya proses dialektika.] Faktor kenikmatan istimewa itulah yang menggagalkan atau sekadar menjadikan tidak idealnya pelbagai proyek kolektivisme dalam setiap eksperimen sosialisme sejak kelompok komunis purba dalam sejarah awal gereja Kristen maupun agama-agama lainnya, kemudian kelompok-kelompok Robert Owen dsb, hingga kamp-kamp kerja komunis di negara-negara Marxis, sampai koperasi unit desa di negeri awak. Dan teori tentang kenikmatan istimewa itu tak cukup lagi dihadapi dengan teori para sosialis mutakhir yang mengatakan bahwa “sosialisme adalah tatanan asli alamiah manusia sedang individualisme hanyalah bentuk keliru dari perkembangan yang baru terjadi kemudian”, karena sesungguhnya kenikmatan istimewa adalah buah niscaya dari kondisi paling ideal dari sistem kesadaran homo sapiens – yakni: kreativitas – di samping hasil dari personalitas manusia yang luarbiasa kompleks dan serba-mungkin itu.  
Apa sebenarnya yang terjadi pada sang infrastruktur sampai ia “mengkhianati” jalan satu-satunya yang ditakdirkan oleh Hegel maupun Marx itu? Makhluk manusia adalah sosok yang dilintasi kecenderungan-kecenderungan berarah baik dari semestanya. Kecenderungan berarah baik itu, pada banyak pribadi tidak dirawat ataupun dikembangkan oleh orang tuanya, guru-gurunya, budayanya dan para patronnya, sehingga sudah mulai ditinggalkan sejak pelbagai pengalaman di sepanjang proses pertumbuhan dan jalan usianya, yang berakibat jadi berkurangnya ia dalam hal potensi mencapai keunggulan serta pelbagai kebajikan. Sehingga mereka gampang hanyut dan tenggelam oleh pelbagai pengaruh eksternal, kesadarannya jadi gampang terdominasi dan teralienasi. Tetapi fitrahnya sebagai makhluk manusia tetap, dan itulah yang setiap saat dengan mudahnya dapat digerakkan oleh pelbagai ajaran yang benar dan baik ataupun sekadar ingatan bawah sadar mengenai nilai kebaikan dan pelbagai kebajikan. Dengan demikian ia mulai memiliki arah tertentu dalam setiap sikap dan tindak yang bersifat alamiah, termasuk ketika ia berangan-angan dan membentuk suprastruktur. Ada kala nilai yang mengarahkannya itu lebih dalam kadar kebajikan dibanding apa yang digariskan/diharapkan Hegel maupun Marx, adakalanya masih di bawah [tetapi akan berkembang terus melalui interaksi kultural dengan individu lain dan masyarakat lain], yang pasti ia sudah tak dapat dipastikan oleh takdir yang diteorikan Hegel dan Marx.
Pokoknya ini soal daya budaya. Maka cukup sering terjadi sebaliknya dari teori “infrastruktur membentuk suprastruktur”-nya Marx. Sebagaimana diungkap Weber, sebelumnya oleh Friedrich List, dan kemudian oleh banyak Weberian: suprastruktur mengarahkan infrastruktur.
Dasar kekeliruan Marxisme itu memang berpangkal dari Marx yang sudah mengelirukan dasar filsafatnya. Ia meradikalkan materialisme sedemikian rupa sampai mengira serta yakin bisa lepas otonom dari hakikat materi/partikel yang selamanya berada menyatu dengan kecenderungan berarah tetap – yang kurang-lebih bisa kita identifikasi sebagai “ide bawaan” atau ide apapun.3

Penjelasan tentang kegagalan jalan pembebasan Marxisme di atas tadi adalah pula penyingkapan tentang kekeliruan utama Marxisme.4 Banyak kalangan yang sebetulnya sudah lama tiba pada kesimpulan umum bahwa kekeliruan Marx terjadi sejak ia memerosotkan humanismenya menjadi semata-mata ekonomisme. Tetapi sifat holistis teorinya itu, ditambah tujuannya yang mulia, membuat orang berusaha melupakan kesimpulan tersebut dan tetap berharap pada jalan Marxisme. Sekarang, dengan penjelasan di atas – tentang keutamaan persoalan budaya tapi dipaksa menjadi ekonomi belaka demi dasar falsafah materialisme – kiranya telah cukup menerangkan secara tuntas.
Habermas, seorang eksponen Marx Café, menawarkan jalan pembebasan dan pencapaian kebenaran, di tengah sistem kesadaran manusia yang sudah terdominasi segala ideologi. Yaitu aksi komunikasi bahasa, menuju masyarakat komunikatif. Aksi komunikasi bahasa menghalau atau mensubstitusi teknologisasi yang selama ini telah merancukan sistem pengetahuan dan pranata kehidupan sosial, sebab bahasa dikembalikan posisinya ke atas sains dan teknologi. Bahasa pun diandalkan Habermas karena – berdasar ilham dari penelitian psikologi Piaget, teori psikologi moral Kohlberg, teori sistem sosial Parsons, dan pelbagai hasil penelitian anthropologi – diyakini mengandung secara built in kebajikan-kebajikan moral yang menjamin berlangsungnya proses komunikasi ideal, tanpa distorsi, bebas dari pendominasian.
Tapi jalan Habermas belum memadai. Kita boleh membenarkan bahwa bahasa dan berkomunikasi adalah sesuatu yang mengandung unsur-unsur etika yang baik, tetapi bahasa tetaplah sebagai alat yang dapat setiap saat diperalat oleh segala kepentingan jahat, jadi alat dari konsep keliru, ataupun bahkan sekadar kesia-siaan. Komunikasi, sebagaimana kenyataannya sejak dulu, tetap merupakan sarana yang memberi kesempatan untuk upaya pembebasan dari belenggu dominasi kesadaran tetapi juga untuk pembelengguan kesadaran serta pengerdilan jiwa.
Komunikasi hanya akan dapat menjadi proses pelumeran segala dominasi jika para komunikan memiliki daya kritis dengan kadar tertentu yang dibuahkan dari kecerdasan kreatif. Komunikator tak memaksakan pendominasian atas orang lain karena faktor kreativitas dalam jiwanya senantiasa membuat dia bersikap terbuka pada setiap kemungkinan kebenaran dari luar dirinya. Lagi, dia adalah insan yang tidak menganggap posisi berkuasa dan mendominasi itu sebagai nilai kebahagiaan utama yang harus dikejar atau dipertahankan.
Dan daya kreatif hanya bisa tumbuh dan berkembang dalam spirit humanisme dimana manusia terposisi sebagai subyek melalui sikap dan tindak peduli sesama. Bukan obyek yang melemahkan sendiri potensi-potensinya sehingga kemudian terdominasi dan tak bisa berkembang daya kreatif dan daya kritisnya.
Kritik atas Realisme-Sosialis
Realisme-Sosialis adalah kredo berkesenian yang mengamanahkan setiap karya seni untuk hanya diabdikan bagi kepedulian pada kehidupan real masyarakat dimana sebagian besar rakyat terbenam dalam kemiskinan dan keterasingan akibat kungkungan ketidakadilan struktural, agar seniman dapat memenuhi tanggung jawabnya dengan menjadi bagian dari perjuangan-kelas demi pembebasan kaum tertindas dan mencapai tatanan sosialisme – tata sosial tanpa kelas yang meraih kemakmuran bersama setingginya dalam budaya yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Ideologi Realisme-Sosialis awalnya digagas serta dikembangkan oleh para pemimpin komunis (termasuk Lenin) beserta ahli-ahli propaganda partai komunisme. Kemudian, di tangan György Lukacs, mencapai puncak kematangannya sebagai konsep estetika yang mudasir, koherens dan komprehensif. Lukacs sampai pada peletakan proses kreatif seniman realis di dalam sistem obyektif kesadaran manusia dengan mekanisme kodrati berarah etik yang benar. Kehidupan manusia secara eksistensial adalah proses yang berlangsung bersama dan di dalam proses sosialnya yang real. Proses kesadaran si seniman menyatu dengan realitas sosial dalam kesatuan mekanisme dialektis yang mentransformasi kesadaran serta realitas sosial itu. Sehingga pekerjaan berkeseniannya itu – sebagai proses pembebasan diri dan sesama warga masyarakat – menyempurnakan kemanusiaannya secara niscaya. Lukacs pun mendeskripsi anatomi proses bekerjanya karya sastra dalam sistem kesadaran masyarakat manusia (yang teralienasi) hingga terkondisinya pembebasan.
Amanah bagi sastrawan untuk menjadi realis bersifat mutlak penting, karena mereka adalah segelintir elit budaya yang diandalkan untuk bisa membuat terobosan transformasi kesadaran tatkala masyarakat umumnya termasuk kebanyakan seniman sudah tergulung hanyut oleh budaya kapitalisme yang sedemikian kuat merasuki sistem kesadaran manusia.
Dialog kritis akan kita tujukan pada Lukacs, karena posisi teorinya sebagai pilar filosofis paling kuat dari kubu estetika kiri. Di luar soal bahwa Lekra dulu tidak seutuhnya menggunakan Lukacs, termasuk dalam menghadapi kelompok Manikebu; juga di luar soal Lukacs sendiri pun menolak banyak garis utama politik kebudayaan partai komunis seperti PKI, di antaranya hal rezimentasi politis dalam pengarahan produksi karya-karya seni.
Sekilas teori Lukacs benar belaka, di samping bercita mulia. Lebih tepatnya, karena sifat mulianya itu sehingga cita kita terdorong untuk segera membenarkannya. Tapi ia, di samping banyak benarnya dan penting, ada sejumlah kekeliruan fundamental.
Kita, demikian juga seniman, sebagai manusia, realitas adalah memang realitas sosial kita sendiri. Tetapi sumber isi kesadaran maupun arah kesadaran kita manusia, terlebih lagi seniman, tentu saja tidak hanya realitas sosial kita itu. Sebab jika begitu maka kita tak beda dengan binatang. Kesadaran (consciousness) membedakan kita dari umumnya makhluk lain, dengan kesadaranlah maka manusia dapat melampaui kondisi historisnya, menjadi pengubah histori, pembuat historinya sendiri, bahkan melampaui kondisi obyektifnya. Terlebih lagi seniman yang berfungsi sebagai pemasok bahan baku kesadaran, yang diambilnya – dengan kepekaan khas senimannya – dari alam imajinasinya yang bisa saja sudah melayang sangat jauh dari pangkalan realitasnya. Makin jauh makin hebatlah ia sebagai seniman; meski tidak berarti yang mengambil bahan baku kesadaran itu langsung dari daratan real kehidupan masyarakat bukan seniman yang hebat.
Seniman tak boleh dipaksa untuk hanya mengambil subject matter proses kreatifnya dari satu sumber tertentu saja – entah itu realita sosialnya maupun Tuhannya, entah itu Revolusi Sosial yang kendati menjanjikannya “sorga tanpa kelas di muka bumi” maupun Pembangunan Nasional yang pula menjanjikannya “masyarakat adil dan makmur”. Seniman bisa saja merasakan getaran sublime yang luarbiasa ketika ia memilih subject matter dari sesuatu dalam imajinasi liarnya yang kendati sangat abstrak dan samasekali belum dikenalnya, atau memilih cuma sehelai daun kecil yang jatuh ditiup angin dan terbiar di tanah, dan menunda untuk memilih kekasih pujaan hatinya sebagai subject matter karya seninya. Tapi dengan memilih hal-hal kecil seperti itu – yang bagi penilaian umum yang sudah terbelenggu parameter-parameter pasar kapitalisme menjadi kelihatan sepele – bukan berarti ia tak menjalankan fungsi serta tanggung jawab sosialnya. Lukisan sekuntum bunga mekar tak kalah jasanya bagi penyejahteraan rakyat dibanding lukisan petani revolusioner yang mengangkat bedil bukan cangkul. Malah bisa lebih hakiki. Justru dengan memilih apa yang tidak digarap kebanyakan orang maka seniman sejati tampil merintis tapal-tapal batas terbaru dan terjauh bagi kemungkinan pencapaian kemajuan peradaban masyarakatnya. Juga, dengan begitu, sebelum hasil karyanya berfungsi sosial, langkah proses kreatifnya itu sendiri sudah meneladankan jalan pembebasan manusia dari alienasi dan segala bentuk lain keterkungkungan ideologis.
   Sementara yang memilih subject matter dari realitas sosial yang ada, apalagi jika dipaksa secara politik untuk menghasilkan karya dalam bentuk yang sedemikian rupa harus eksplisit realitas sosial maupun sosialis, mereka justru sering sudah tak lagi menjalankan fungsi kesenimanannya yang hakiki, yang harus meretas kebaruan dan pembaruan.
Si seniman pun sudah tak berbeda dengan misalnya pematung yang berkarya seturut order proyek, sekadar cari uang [ – yang justru sangat dikutuk oleh Karl Marx Sang Dewa Realisme-Sosialis: kerja yang bukan lagi menjadi self-actualization untuk penyempurnaan kemanusiaan diri, melainkan cuma diperintah pasar!]. Membuat patung atau ornamen penghias taman di rumah orang kaya, atau penyair yang dibayar untuk merangkai kata-kata indah seturut ukuran keindahan pemesannya buat diukirkan pada prasasti peresmian gedung baru. Tentu saja itu tetap sah sebagai karya seni, tetapi di sisi lain, sisi yang lebih hakiki, itu hanyalah semacam excuse sejenak untuk berhenti ataupun menyimpang dari jalannya proses pemajuan peradaban yang diperankan oleh seni yang harus terus-menerus berkreasi merambah ufuk-ufuk baru terjauh.  
Seniman yang menjadikan realitas sebagai sumber ilham serta mewujudkan karya seninya secara eksplisit realis, diejek: bukan si penyair yang menulis puisi penciptaan realitas baru berdasar realitas yang ada, melainkan realitas yang ada itulah yang menuliskan puisi buat si penyair….
Semua pemaksaan atas wujud karya seni untuk harus berbentuk atau bercorak tertentu hanyalah menghasilkan jiplakan yang bukan saja tanpa karakter tapi pula tanpa nyawa, apalagi untuk mengharapkannya menjadi sumbangsih demi meluaskan cakrawala pencapaian peradaban baru yang lebih memenuhi kebutuhan umat manusia. Tatkala ekor penjiplakan dari senirupa propagandis partai komunis Uni Soviet dan RRC itu memanjang sampai ke negeri kita, awalnya memang sempat ada kesan takjub pada karya-karya poster serba raksasa itu karena baru, juga baru dalam hal ide tentang buruh dan tani yang biasanya memelas kini tampil herois nan garang. Tetapi karena karya itu hanya jiplakan dari jiplakan, selalu cuma begitu-begitu saja, maka segera menimbulkan jenuh, kembung dan rasa mual – persis seperti perasaan HB Jassin yang diungkapkan dalam suratnya yang ditujukan kepada Pramudya Ananta Toer.
T
ema garapan seniman bukan dan tak boleh hanya satu-satunya saja: perjuangan revolusi kelas tertindas. Jika tak mau memilih tema “kecil nan sepele”, bisa juga yang besar lainnya, yang boleh jadi bertentangan dengan tema revolusi pertentangan kelas, misalnya tema perdamaian. Itupun mulia. Meski orang Lekra akan mengatakan “berdamai dengan kapitalis adalah bunuh diri”, kita tak perlu buru-buru membalas “berdamai dengan kapitalisme memang ada kemungkinan beberapa dari kita terbunuh, tetapi berdamai dengan totaliterisme yang atheis sudah pasti semua kita langsung terbunuh jasmani dan rohani!” Keperluan terpenting kita adalah kreativitas. Dengan itulah semua tujuan inti dan terbaik dari revolusi sosial maupun perdamaian dapat terwujud benar-benar lebih pasti dan pasti lebih benar.
Tema “kecil”, “sepele”, bahkan abstrak tak dikenal, semuanya penting dan besar bagi kemanusiaan sejati. Tema kecil sepele, tentang sehelai daun kecil yang lepas dari dahan, setitik embun pagi yang amat gampang sirna, bila digarap dengan penuh cinta akan sangat besar hasilnya bagi peradaban. Gerakan seni budaya Romantik – dari mana Karl Marx justru tumbuh – berangkat dari situ. Dari tengah-tengah kegelisahan para seniman yang merasa gerah dikepung gersangnya industrialisasi yang menggusur keasrian alam negeri mereka.
Tema sepele dan abstrak jangan pernah dikira sebagai sekadar mbalelo seniman terhadap mainstream politik “Revolusi”, “Pembangunan”, “Keagungan Agama”. Dan jangan lagi mengira bahwa apa yang dibilang “l’art pour l’art” itu ada landasan obyektifnya, walau bisa saja si seniman berucap begitu. Berkarya seni adalah perwujudan etis oleh manusia sebagai makhluk yang merefleksikan kecenderungan-kecenderungan berarah baik dan bajik dari sistema semesta. “Seni tercipta di ruang illahi,” ujar Rabindranath Tagore di India, juga diyakini Li Po, penyair dari pedalaman Tiongkok. Mungkin kata-kata tersebut kedengaran berlebihan, tetapi berkesenian sebagai aktivitas berarah tertentu yang diterima masyarakat dengan nilai baik itu pastilah memiliki hulu terdalam kebaikan serta kebajikan.  []

Catatan:
[1] Wiratmo Sukito, “Trisno Sumardjo dan Manifes Kebudayaan” (makalah), sebagaimana dikutip dalam Goenawan Mohamad, Peristiwa “Manikebu”: Kesusastraan Indonesia dan Politik di Tahun 1960-an, Refleksi, TEMPO, Mei 1988, hlm.29.
[2] Lihat cacatan akhir no.1.
[3] Bab 5 manuskrip asli buku yang kemudian terbit sebagai: Benni E. Matindas, Meruntuhkan Benteng Atheisme Modern, Yogyakarta: Andi, 2010. Terjadi kesalahan dalam proses editing buku ini, berkenaan file dalam komputer, sehingga banyak menyimpang dari naskah asli.
[4] Di samping kesalahan-kesalahan teori Marx yang lain, yang kurang relevan dibahas dalam diskusi filsafat seni sekitar peristiwa Manikebu ini. Seperti teori upah/nilai surplus Marx yang harus jadi keliru lantaran dibangun di atas teori nilai/harga Adam Smith yang salah kaprah (Benni E.Matindas, Paradigma Baru Politik Ekonomi, Jakarta: Bina Insani, 1998, hlm.220-231).